KONTAN | Rabu, 15 Juli 2020 / 20:52 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Keuangan RI menetapkan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau sebagai salah satu bagian strategi Reformasi Fiskal untuk pemungutan tahun 2021. Rencana ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024.

Beleid yang berlaku sejak tanggal 29 Juni 2020 ini merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam RPJMN tersebut, struktur cukai yang saat ini berjumlah 10 layers akan disederhanakan secara bertahap menjadi 3-5 layers hingga 2024.

Analis RHB Sekuritas Indonesia Michael Wilson Setjoadi menilai, penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau ini akan berefek positif ke pabrikan rokok tingkat 1 yang besar. Pasalnya, perbedaan tarif cukai dengan pabrikan rokok yang lebih kecil bakal semakin berkurang.

Alhasil, persaingan harga antara produsen rokok besar dan kecil jadi kurang imbang. “Jika nanti ke depannya hanya ada satu tier tarif cukai, itu pasti memberatkan produsen rokok kecil yang mempunyai harga jual yang jauh lebih rendah dibandingkan produsen rokok besar,” tutur Michael saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (15/7).

Ia membandingkan harga jual produk PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) yang secara umum memiliki harga yang lebih tinggi dibanding produk PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM). Lebih jauh, penyederhanaan tarif cukai ini juga berpotensi menurunkan ketersediaan lapangan kerja di industri rokok.

Pasalnya, produsen rokok kecil yang masih dominan memproduksi sigaret kretek tangan (SKT) bakal menanggung beban yang semakin berat. “Sementara itu, kontribusi produk SKT terhadap penjualan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT HM Sampoerna Tbk sangat kecil, di bawah 10%. Sebagian besar produksi sudah menggunakan mesin,” kata Michael.

Selain adanya risiko dari penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau ini, produsen rokok juga masih menghadapi kemungkinan kenaikan tarif cukai pada tahun 2021. Michael memprediksi, pemerintah bakal tetap menaikkan tarif cukai walau tidak sebesar tahun 2020.

Bernada serupa, Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Christine Natasya juga memperkirakan, tarif cukai rokok akan naik tahun depan meski kenaikannya tak terlalu signifikan. “Secara historikal, kenaikan tarif cukai rokok berkisar 10%-12%. Kalau pemerintah mau menghidupkan ekonomi, menurut saya maksimal 11-12%,” ucap dia.

Dengan asumsi kenaikan yang normal tersebut, ia memprediksi, bisnis emiten yang berada dalam ruang lingkupnya, yakni HMSP dan GGRM akan lebih baik di tahun depan. Pasalnya, tahun 2020 merupakan low base (basis rendah) karena terdampak kenaikan tarif cukai yang mencapai dua kali lipat dari biasanya ditambah dengan daya beli masyarakat yang menurun akibat pandemi Covid-19.

Dengan perkiraan tersebut, Christine memasang rekomendasi trading buy untuk GGRM dengan target harga Rp 57.000 per saham selama 12 bulan ke depan. Sementara itu, dia menyarankan hold HMSP dengan target harga Rp 1.700 per saham. “Akan tetapi, kalau kenaikan tarif cukai justru lebih besar, sama atau mirip dengan tahun ini, maka harga sahamnya bisa turun lagi,” ungkap Christine.

Berdasarkan data RTI, saham GGRM tercatat turun 11,37% secara year to date (ytd) hingga Rabu (15/7) ke level Rp 46.975 per saham dengan price earning ratio (PER) sebesar 9,24 kali. Sementara itu, HMSP merosot 18,81% ytd ke harga Rp 1.705 per saham dengan PER 14,9 kali.

Michael menambahkan, ia menyukai prospek jangka pendek GGRM. Sementara valuasi HMSP saat ini ia nilai menarik untuk investasi jangka panjang. Michael memasang target harga Rp 60.000 per saham untuk GGRM dan Rp 2.200 per saham untuk HMSP.

SOURCE : https://investasi.kontan.co.id/news/struktur-tarif-cukai-disederhankan-begini-dampaknya-ke-emiten-rokok?page=all