CNN Indonesia | Selasa, 17/09/2019 18:29 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Sejumlah kelompok produsen rokok mengeluhkan kebijakan pemerintah yang akan menaikkan tarif cukai rokok mencapai 23 persen, hingga membuat harga rata-rata rokok eceran melonjak hingga 35 persen pada 2020.

Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menilai kebijakan pemerintah akan menghimpit kondisi industri rokok. Produsen rokok dianggap tidak akan memiliki ruang gerak untuk menciptakan inovasi produk guna menghidupkan industri rokok.

Ketua Gaprindo Muhaimin Moeftie menilai rokok ilegal berpotensi besar naik kembali. Hal ini telah terjadi di negara tetangga Malaysia ketika pemerintah menaikkan cukai rokok sekitar 43 persen pada 2015. Akibatnya, rokok ilegal meningkat drastis menjadi sekitar 60 persen. Pada akhirnya, penerimaan menurun karena jumlah pembelian pita cukai merosot tajam.

Gaprindo mengklaim industri rokok mengalami tren stagnan, bahkan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Tak hanya itu, pasar kian sensitif terhadap harga rokok

“Kami ingin pemerintah selalu membuka pintu diskusi saat menetapkan kebijakan cukai tahun 2020 dan bersikap transparan kepada kami sebagai pelaku industri karena kenaikan cukai sebesar 23 persen dan HJE 35 persen sangat memberatkan dan terlalu tinggi,” ungkap Muhaimin dalam keterangan tertulis, Selasa (17/9).

Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya khawatir rencana kenaikan cukai rokok kian melemahkan industri tembakau. Jika produksi melemah, hal tersebut juga akan berimbas pada pendapatan tenaga kerja, petani tembakau, dan petani cengkeh.

Ketua Gapero Surabaya Sulami Bahar menuturkan kenaikan harga jual eceran berpotensi mengurangi motif masyarakat untuk mengonsumsi produk hasil tembakau. Sementara itu, menurut catatan Gapero Surabaya, produksi industri hasil tembakau kian menurun sebesar 1 persen hingga 2 persen per tahun.

“Kenaikan cukai yang drastis dapat memperburuk situasi industri hasil tembakau yang telah menurun beberapa tahun terakhir ini. Kebijakan tarif cukai sangat menentukan nasib anggota Gapero,” jelas Sulami dikutip dari keterangan resmi, Selasa (17/9).

Menurut dia, kenaikan tarif dan harga jual eceran yang drastis secara mendadak bisa merubuhkan bisnis industri hasil tembakau yang telah menurun beberapa tahun terakhir ini. Terlebih, kenaikan cukai dan harga jual eceran yang meroket juga menjadi celah bagi rokok ilegal untuk masuk ke pasar.

“Kami juga tidak ingin kenaikan tarif yang tinggi ini dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengedarkan produk rokok ilegal,” terangnya.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah mau melakukan dua hal terkait kebijakan cukai rokok. Pertama, pemerintah harus menetapkan kebijakan tarif yang moderat dan adil pada setiap jenis hasil tembakau dan golongan. Maksudnya, baik golongan I, golongan II, maupun golongan III, agar industri dalam negeri bisa berdaya saing dan berkontribusi bagi penerimaan negara.

Kedua, ia juga berharap pemerintah menetapkan harga jual eceran yang wajar. Besaran harga jual eceran pada masing-masing jenis hasil tembakau per golongan harus mempertimbangkan daya saing dari seluruh pemain industri hasil tembakau di Indonesia. Bagi industri hasil tembakau, harga jual eceran merupakan satu-satunya amunisi dalam bersaing dengan pemain-pemain lain.

“Industri hasil tembakau sangat sensitif dengan setiap perubahan kebijakan tarif dari harga jual eceran, khususnya jika terjadi kenaikan yang drastis,” kata Sulami.

Penetapan kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen dan rata-rata kenaikan harga jual eceran sebesar 35 persen disepakati pemerintah di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (13/9). Hal ini demi mendukung penerimaan cukai yang ditarget Rp179,2 triliun di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.

Kebijakan ini bukan kali pertama dilakukan pemerintah. Sebelumnya, pemerintah juga menaikkan tarif cukai rokok sebesar 10.5 persen pada 2017. Hanya saja, menurut Rifki, intervensinya kali ini lebih tinggi, yakni tarif cukai naik tinggi hingga 23 persen.

Dalam kesempatan berbeda, Peneliti bidang Ekonomi The Indonesian Institute M. Rifki Fadilah mengatakan bahwa kenaikan tarif cukai rokok kretek dapat menjadi pisau bermata dua.

Rifki mengatakan kenaikan tarif cukai rokok kretek akan berdampak pada menurunnya permintaan rokok kretek. Berkurangnya konsumsi rokok kretek dapat meminimalisir kerugian dari konsumsi rokok kretek.

Kendati demikian, kenaikan tarif cukai berpotensi menurunkan permintaan dan penawaran tembakau.

“Tahun depan dengan tarif lebih tinggi, kemungkinan kenaikan tarif cukai ini akan membawa efek domino terhadap penurunan permintaan, penawaran dan harga tembakau,” kata Rifki.

Rifki menjelaskan harga riil rokok kretek di tingkat produsen berpotensi menurun, sehingga permintaan tembakau pun menyusut. Pada akhirnya, harga riil tembakau di tingkat konsumen dan produsen juga menurun dan menyebabkan penawaran tembakau juga lesu.

“Ujung dari skema kenaikan tarif ini akan memukul kesejahteraan petani tembakau. Kesejahteraan petani tembakau akan mengalami penurunan apabila terjadi kenaikan tarif cukai rokok kretek lantaran menurunnya permintaan tembakau dari produsen rokok kretek,” kata Rifki.

Maka itu, Rifki mengimbau pemerintah untuk mempertimbangkan besaran kenaikan tarif cukai rokok berdasarkan upaya menekan konsumsi rokok tanpa harus mematikan industri tembakau. (glh/lav)

SOURCE : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190917103747-92-431247/produsen-rokok-ramai-ramai-protes-kenaikan-tarif-cukai